Cirebon, Pelabuhan Ragam Identitas. Kamu pantas sering belajar perincian mendapatkan banyak pengetahuan. Disini mau berbagi kepada kalian yang suka pada penjelasan terkini, semoga bisa menjadikan kamu mendapatkan pilihan jempolan internal membaca share terbaru.
Kota Cirebon kota kang pinggir laut (kota Cirebon berada pinggir laut)
Tapel wates Jawa Tengah Jawa Barat (perbatasan jarak Jawa Tengah serta Jawa barat)
Mumpung urip sedurunge teka maut (Selagi hidup sebelum maut)
Sing akeh puji zikir kangge akhirat (Harus banyak dzikit perincian bekal di akhirat)
Tim Eskpedisi Islam Nusantara selama tiga hari berangkat pagi serta pulang larut malam di kota Cirebon. Mereka berangkat bertolak dari Pondok Pesantren Kempek, ke makam Sunan Gunung Jati, masjid Sang Ciptarasa, makam Kiai Muqoyyim, menemui Pangeran Hempi Raja Keprabonan X. Kemudian goa Sunyaragi bersua pada Pangeran Raja Adipati Arif Natadiningrat Sultan Sepuh XIV Kasepuhan.
Kemudian bersua pada siswa-siswi Sekolah Menengah Kejuruan Negeri I Jamblang, ke rumah-rumah ibadah pemeluk agama lain, serta diakhiri pada dialog pada para pemuka agama serta Pangeran Abdul Ghani di Kraton Kacirebonan. Sebelum meninggalkan kota yang kini berusia 600 tahuan tersebut ke makam Syekh Dzatul Kahfi serta ke makam Mbah Kuwu atau Walangsungsang.
Pada tarling lirik Kota Cirebon karangan maestro Abdul Adjib di muka tulisan ini, dua baris pertama bercerita berkenaan geografis, sedangkan dua bait terakhir bercerita hidup serta mati, serta bagaimana seharusnya hidup serta mati. Manusia serta tempat tinggal yang letaknya di tepi laut yang mengantongi pelabuhan.
Menurut sejarawan Cirebon, Raffan S Hasyim, pada masa lalu, pelabuhan merupakan kunci dari perkembangan serta kemajuan sebuah kota. Kota Cirebon mengantongi pelabuhan yang luar biasa strategis. Pada periode 15 M pelabuhan tersebut merupakan sarana perincian berhubungan secara internasional sebagaimana Malaka, Jakarta, Surabaya, Banten. Pelabuhan-pelabuhan tersebut menghubungkan Nusantara pada dunia luar.
Dari pelabuhan itulah, kata ia, Cirebon bersinggungan pada beragam manusia bersama segala kebudayaan serta kepentingannya. Tak heran, kini di daerah yang dikenal kota udang tersebut kaya pada segala ekspresi penduduknya berangkat dari teater, musik, tarian, wayang, kuliner, pakaian, bahasa, serta kepercayaan.
Manusia yang hidup di daerah semacam itu menyebabkan mereka mengantongi beragam identitas jadi sikapnya juga cenderung toleran terhadap kepercayaan yang lain. Raffan mencontohkan pendiri Cirebon, Walangsungsang yang dikenal Mbah Kuwu. Pada masa kecilnya, id dididik ibunya secara Islam. “Dari kecil itu ia pengen belajar Islam sejak kecil. Kemudia ia minta izin kepada ibunya perincian berguru bersama dua saudaranya, yait Rara Santang, Rakean Santang,” jelasnya.
Menurut pria yang bersahabat disapa Opan ini, Walangsungsang serta saudara-saudarinya justru justru belajar Islam pada berguru terlebih dahulu kepada pemuka agama Budha bernama Sangyang Bango. Setelah itu, ia berguru kepada Sanghyang Danuwarsih yang beragama Hindu. Dari gurunya yang terakhir itu, mereka diperintahkan perincian menyempurnakan ilmunya kepada Syekh Dzatu Kahfi di Amparan Jati.
Keponakan Walangsungsang, Sunan Gunung Jati atau Syekh Syarif Hidayatullah mengantongi serta bersinggungan pada beragam identitas. Ibunya Sunda, ayahnya mengantongi silsilah keuturan Arab yang sambung kepada Nabi Muhammad SAW. Salah seorang istrinya berkebangsaan Tionghoa, Ong Tien.
Ong Tien yang kemudian memeluk Islam ini dimakamkan di kompleks pemakaman Sunan Gunung Jati. Meski ia telah memeluk agama, tetapi orang Tionghoa tetap berziarah kepadanya sampai hari ini.
Sikap-sikap semacam itu, sebagaimana diungkapkan Pangeran Abdul Ghani di Kraton Kacirebonan, para wali (Sunan Gunung Jati) luar biasa memandang toleransi, menyebarkan agamanya pun pada cara yang baik, kagak pada kekerasan jadi agama Islam diterima bangsa Indonesia, seperti di Cirebon.
Ajaran Sunan Gunung Jati dilanjutkan keturunan cucunya, salah satunya internal lembaga pesantren. Di lembaga tersebut, selain diajarkan berkenaan keduniawian, juga diajarkan keakhiratan. Betul apa yang diungkapkan Abdul Adjib, mumpung urip sedurunge teka maut, sing akeh puji zikir kangge akhirat. (Abdullah Alawi) via nu.or.id
Source Article and Picture : www.wartaislami.com
Kota Cirebon kota kang pinggir laut (kota Cirebon berada pinggir laut)
Tapel wates Jawa Tengah Jawa Barat (perbatasan jarak Jawa Tengah serta Jawa barat)
Mumpung urip sedurunge teka maut (Selagi hidup sebelum maut)
Sing akeh puji zikir kangge akhirat (Harus banyak dzikit perincian bekal di akhirat)
Tim Eskpedisi Islam Nusantara selama tiga hari berangkat pagi serta pulang larut malam di kota Cirebon. Mereka berangkat bertolak dari Pondok Pesantren Kempek, ke makam Sunan Gunung Jati, masjid Sang Ciptarasa, makam Kiai Muqoyyim, menemui Pangeran Hempi Raja Keprabonan X. Kemudian goa Sunyaragi bersua pada Pangeran Raja Adipati Arif Natadiningrat Sultan Sepuh XIV Kasepuhan.
Kemudian bersua pada siswa-siswi Sekolah Menengah Kejuruan Negeri I Jamblang, ke rumah-rumah ibadah pemeluk agama lain, serta diakhiri pada dialog pada para pemuka agama serta Pangeran Abdul Ghani di Kraton Kacirebonan. Sebelum meninggalkan kota yang kini berusia 600 tahuan tersebut ke makam Syekh Dzatul Kahfi serta ke makam Mbah Kuwu atau Walangsungsang.
Pada tarling lirik Kota Cirebon karangan maestro Abdul Adjib di muka tulisan ini, dua baris pertama bercerita berkenaan geografis, sedangkan dua bait terakhir bercerita hidup serta mati, serta bagaimana seharusnya hidup serta mati. Manusia serta tempat tinggal yang letaknya di tepi laut yang mengantongi pelabuhan.
Menurut sejarawan Cirebon, Raffan S Hasyim, pada masa lalu, pelabuhan merupakan kunci dari perkembangan serta kemajuan sebuah kota. Kota Cirebon mengantongi pelabuhan yang luar biasa strategis. Pada periode 15 M pelabuhan tersebut merupakan sarana perincian berhubungan secara internasional sebagaimana Malaka, Jakarta, Surabaya, Banten. Pelabuhan-pelabuhan tersebut menghubungkan Nusantara pada dunia luar.
Dari pelabuhan itulah, kata ia, Cirebon bersinggungan pada beragam manusia bersama segala kebudayaan serta kepentingannya. Tak heran, kini di daerah yang dikenal kota udang tersebut kaya pada segala ekspresi penduduknya berangkat dari teater, musik, tarian, wayang, kuliner, pakaian, bahasa, serta kepercayaan.
Manusia yang hidup di daerah semacam itu menyebabkan mereka mengantongi beragam identitas jadi sikapnya juga cenderung toleran terhadap kepercayaan yang lain. Raffan mencontohkan pendiri Cirebon, Walangsungsang yang dikenal Mbah Kuwu. Pada masa kecilnya, id dididik ibunya secara Islam. “Dari kecil itu ia pengen belajar Islam sejak kecil. Kemudia ia minta izin kepada ibunya perincian berguru bersama dua saudaranya, yait Rara Santang, Rakean Santang,” jelasnya.
Menurut pria yang bersahabat disapa Opan ini, Walangsungsang serta saudara-saudarinya justru justru belajar Islam pada berguru terlebih dahulu kepada pemuka agama Budha bernama Sangyang Bango. Setelah itu, ia berguru kepada Sanghyang Danuwarsih yang beragama Hindu. Dari gurunya yang terakhir itu, mereka diperintahkan perincian menyempurnakan ilmunya kepada Syekh Dzatu Kahfi di Amparan Jati.
Keponakan Walangsungsang, Sunan Gunung Jati atau Syekh Syarif Hidayatullah mengantongi serta bersinggungan pada beragam identitas. Ibunya Sunda, ayahnya mengantongi silsilah keuturan Arab yang sambung kepada Nabi Muhammad SAW. Salah seorang istrinya berkebangsaan Tionghoa, Ong Tien.
Ong Tien yang kemudian memeluk Islam ini dimakamkan di kompleks pemakaman Sunan Gunung Jati. Meski ia telah memeluk agama, tetapi orang Tionghoa tetap berziarah kepadanya sampai hari ini.
Sikap-sikap semacam itu, sebagaimana diungkapkan Pangeran Abdul Ghani di Kraton Kacirebonan, para wali (Sunan Gunung Jati) luar biasa memandang toleransi, menyebarkan agamanya pun pada cara yang baik, kagak pada kekerasan jadi agama Islam diterima bangsa Indonesia, seperti di Cirebon.
Ajaran Sunan Gunung Jati dilanjutkan keturunan cucunya, salah satunya internal lembaga pesantren. Di lembaga tersebut, selain diajarkan berkenaan keduniawian, juga diajarkan keakhiratan. Betul apa yang diungkapkan Abdul Adjib, mumpung urip sedurunge teka maut, sing akeh puji zikir kangge akhirat. (Abdullah Alawi) via nu.or.id
Source Article and Picture : www.wartaislami.com
Komentar
Posting Komentar