ULAMAKU, ULAMAMU, DAN ULAMA KITA. Kamu mesti sering belajar kepada mendapatkan banyak pengetahuan. Disini mau berbagi kepada kalian yang suka oleh penerangan terkini, semoga bisa menjadikan kamu mendapatkan pilihan unggul internal membaca share terbaru.
Oleh Sulhan Yusuf
Wartaislami.com ~ Pekan ini, penuh oleh hari-hari yang melelahkan ruang pikir, bahkan memabukkan ranah zikir. Gegaranya, persamuhan di Indonesia Lawers Club (ILC), yang mengusung tema, “Setelah Ahok Minta Maaf”, menyisakan keributan yang menyalak-nyalak, khususnya di media daring. Pangkalnya, tatkala di acara itu, pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, yang diwakili oleh K.H.Tengku Zulkarnaen, membacakan putusan fatwa MUI, yang mendakwa Ahok selaku penista al-Qur’an serta penghina ulama, lalu melaporkan ke polisi. Sontak saja, bukan hanya di arena ILC menyulut perdebatan, protes pada institusi MUI tak terelakkan. Berlanjut di media sosial, ada yang merayu MUI dibubarkan saja. Bagi aku, ini sejenis deinstitusi MUI.
Beberapa hari sebelumnya, di Makassar, sekelompok orang yang mengatasnamakan sejumlah ormas Islam, mendatangi MUI Sul-Sel. Tujuannya, memaksa ketua MUI, Anregurutta K.H. Sanusi Batjo, Lc. Untuk menandatangani surat pelarangan perayaan Assyura. Permintaan itu bernada intimidasi, setidaknya, menurut kesaksian seseorang yang kemudian membabarkannya di media luring serta daring. Lumrah diketahui, bahwa ketua MUI sul-Sel sewajarnya seorang ulama sepuh, yang amat dihormati, serta tiada kurang yang mensakralkannya. Tetapi, di indra penglihat pengintimidasi, rupanya tiada berlaku sakralitas. Bagi aku, ini serupa desakralisasi MUI.
Ada apa oleh MUI? Soalnya, bila kasus yang menimpa MUI Pusat itu, para pengeritiknya dinilai bagai orang yang tiada beres keislamannya, sebab telah menohok institusi MUI, yang merupakan perwakilan begitu banyak ulama. Sementara yang melanda MUI Sul-Sel, para penohoknya disemati bagai kelompok yang merasa paling islami, sebab mereka mewakili umat Islam, yang memburu para penyesat serta penista agama Islam.
Deinstitusi serta desakralisasi MUI, dua-duanya merupakan gejala ketakberdayaan MUI. Untunglah, meski MUI dianggap representasi ulama, tetapi kenyataannya tidaklah benar demikian adanya. Ulama yang berbeda oleh MUI pun tiada kurang, yang tersebar di seantero negeri. Bukan itu saja, tiada setiap putusan MUI itu mengikat umat Islam secara keseluruhan. Buktinya, tiada semua fatwa MUI diikuti, kadang terselip penolakan. Sebagai misal, penentuan awal puasa serta lebaran, terkadang ada umat tiada bersetuju oleh putusan MUI. Sehingga, di internal umat Islam berlaku, ulamaku belum tentu ulamamu, begitu juga sebaliknya, tetapi terdapat lagi ulamamu sewajarnya juga ulamaku, itulah ulama kita. Dan, MUI pun belum tentu selaku ulama kita.
Dalam kelelahan pikir serta kemabukan zikir, aku membaringkan diri di ruang baca, sepetak surga yang sering aku dakukan. Tertumbuklah indra penglihat aku pada sebuah buku, di jarak ribuan buku, yang berjudul Ulama Bugis, karangan Abd. Kadir Ahmad, yang merupakan hasil penelitian desertasi doktoralnya. Saya lalu mendaras buku itu, mencoba mencari tahu, seperti apa sesungguhnya sosok ulama, yang setidaknya diidealkan oleh masyarakat Bugis.
Merujuk pada Kadir Ahmad, diulaskannya bahwa ulama internal khasanah Bugis disebutgurutta. Panggilan gurutta diberikan kepada seseorang yang ahli internal agama. Guruttaadalah sebutan umum kepada ulama. Di bawah gurutta terdapat para ustaz, serta di bagi peringkat gurutta terdapat anregurutta atau to-panrita. Seorang anregurutta, mengantongi kompetensi keagamaan (ilmu), kompetensi sosial (amal) serta kompetensi kepribadian (akhlak). Menyatunya tiga kompetensi itu internal diri anregurutta, bakal menampakkan adanya fenomena kharismatik. Karenanya, kharisma anregurutta bakal melahirkan kesakralan terhadapnya.
Kharisma yang dimiliki anregurutta, didentifikasi pula bagai sosok ulama makaramaqatau mengantongi karamah, berupa kelebihan yang ditawarkan yang dimiliki, di bagi jangkauan kemampuan orang kebanyakan. Walau misalnya seorang anregurutta tiada mengantongi karamah, namun ada panggilan lain yang dilekatkan padanya, berupa sebutan panrita maniniq, yang dimaksudkan bagai ulama yang mengantongi sikap hati-hati serta konsisten. Dari konteks inilah, biasanya, ulama tersebut selaku rujukan kepada memperoleh barakkaq (berkah).
Idealisasi ulama di masyarakat Bugis ini, bukan berarti tiada ada sosok historisnya. Tersebutlah semisal Anregurutta K.H. As’ad pendiri pesantren As’adiyah serta Anregurutta K.H. Ambo Dalle pendiri pesantren DDI. Ulama-ulama kharismatik inilah, semasa hidupnya, merupakan para anregurutta yang memandu kehidupan bermasyarakat di tanah Bugis. Lalu, masihkah ada ulama yang semodel ini? Saya tiada bisa memahamkan, bahwa ulama yang mewakili MUI di ILC itu, bisa jadi rujukan. Tapi, aku bisa memastikan bahwa ulama yang diintimidasi di MUI Sul-Sel itu sewajarnya sosok yang dimaksud, karena masyarakat telah menobatkannya bagai anregurutta, yakni Anregurutta K.H. Sanusi Batjo LC, serona persona ulama kita.
Sumber : metroislam.com
Source Article and Picture : www.wartaislami.com

Oleh Sulhan Yusuf
Wartaislami.com ~ Pekan ini, penuh oleh hari-hari yang melelahkan ruang pikir, bahkan memabukkan ranah zikir. Gegaranya, persamuhan di Indonesia Lawers Club (ILC), yang mengusung tema, “Setelah Ahok Minta Maaf”, menyisakan keributan yang menyalak-nyalak, khususnya di media daring. Pangkalnya, tatkala di acara itu, pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, yang diwakili oleh K.H.Tengku Zulkarnaen, membacakan putusan fatwa MUI, yang mendakwa Ahok selaku penista al-Qur’an serta penghina ulama, lalu melaporkan ke polisi. Sontak saja, bukan hanya di arena ILC menyulut perdebatan, protes pada institusi MUI tak terelakkan. Berlanjut di media sosial, ada yang merayu MUI dibubarkan saja. Bagi aku, ini sejenis deinstitusi MUI.
Beberapa hari sebelumnya, di Makassar, sekelompok orang yang mengatasnamakan sejumlah ormas Islam, mendatangi MUI Sul-Sel. Tujuannya, memaksa ketua MUI, Anregurutta K.H. Sanusi Batjo, Lc. Untuk menandatangani surat pelarangan perayaan Assyura. Permintaan itu bernada intimidasi, setidaknya, menurut kesaksian seseorang yang kemudian membabarkannya di media luring serta daring. Lumrah diketahui, bahwa ketua MUI sul-Sel sewajarnya seorang ulama sepuh, yang amat dihormati, serta tiada kurang yang mensakralkannya. Tetapi, di indra penglihat pengintimidasi, rupanya tiada berlaku sakralitas. Bagi aku, ini serupa desakralisasi MUI.
Ada apa oleh MUI? Soalnya, bila kasus yang menimpa MUI Pusat itu, para pengeritiknya dinilai bagai orang yang tiada beres keislamannya, sebab telah menohok institusi MUI, yang merupakan perwakilan begitu banyak ulama. Sementara yang melanda MUI Sul-Sel, para penohoknya disemati bagai kelompok yang merasa paling islami, sebab mereka mewakili umat Islam, yang memburu para penyesat serta penista agama Islam.
Deinstitusi serta desakralisasi MUI, dua-duanya merupakan gejala ketakberdayaan MUI. Untunglah, meski MUI dianggap representasi ulama, tetapi kenyataannya tidaklah benar demikian adanya. Ulama yang berbeda oleh MUI pun tiada kurang, yang tersebar di seantero negeri. Bukan itu saja, tiada setiap putusan MUI itu mengikat umat Islam secara keseluruhan. Buktinya, tiada semua fatwa MUI diikuti, kadang terselip penolakan. Sebagai misal, penentuan awal puasa serta lebaran, terkadang ada umat tiada bersetuju oleh putusan MUI. Sehingga, di internal umat Islam berlaku, ulamaku belum tentu ulamamu, begitu juga sebaliknya, tetapi terdapat lagi ulamamu sewajarnya juga ulamaku, itulah ulama kita. Dan, MUI pun belum tentu selaku ulama kita.
Dalam kelelahan pikir serta kemabukan zikir, aku membaringkan diri di ruang baca, sepetak surga yang sering aku dakukan. Tertumbuklah indra penglihat aku pada sebuah buku, di jarak ribuan buku, yang berjudul Ulama Bugis, karangan Abd. Kadir Ahmad, yang merupakan hasil penelitian desertasi doktoralnya. Saya lalu mendaras buku itu, mencoba mencari tahu, seperti apa sesungguhnya sosok ulama, yang setidaknya diidealkan oleh masyarakat Bugis.
Merujuk pada Kadir Ahmad, diulaskannya bahwa ulama internal khasanah Bugis disebutgurutta. Panggilan gurutta diberikan kepada seseorang yang ahli internal agama. Guruttaadalah sebutan umum kepada ulama. Di bawah gurutta terdapat para ustaz, serta di bagi peringkat gurutta terdapat anregurutta atau to-panrita. Seorang anregurutta, mengantongi kompetensi keagamaan (ilmu), kompetensi sosial (amal) serta kompetensi kepribadian (akhlak). Menyatunya tiga kompetensi itu internal diri anregurutta, bakal menampakkan adanya fenomena kharismatik. Karenanya, kharisma anregurutta bakal melahirkan kesakralan terhadapnya.
Kharisma yang dimiliki anregurutta, didentifikasi pula bagai sosok ulama makaramaqatau mengantongi karamah, berupa kelebihan yang ditawarkan yang dimiliki, di bagi jangkauan kemampuan orang kebanyakan. Walau misalnya seorang anregurutta tiada mengantongi karamah, namun ada panggilan lain yang dilekatkan padanya, berupa sebutan panrita maniniq, yang dimaksudkan bagai ulama yang mengantongi sikap hati-hati serta konsisten. Dari konteks inilah, biasanya, ulama tersebut selaku rujukan kepada memperoleh barakkaq (berkah).
Idealisasi ulama di masyarakat Bugis ini, bukan berarti tiada ada sosok historisnya. Tersebutlah semisal Anregurutta K.H. As’ad pendiri pesantren As’adiyah serta Anregurutta K.H. Ambo Dalle pendiri pesantren DDI. Ulama-ulama kharismatik inilah, semasa hidupnya, merupakan para anregurutta yang memandu kehidupan bermasyarakat di tanah Bugis. Lalu, masihkah ada ulama yang semodel ini? Saya tiada bisa memahamkan, bahwa ulama yang mewakili MUI di ILC itu, bisa jadi rujukan. Tapi, aku bisa memastikan bahwa ulama yang diintimidasi di MUI Sul-Sel itu sewajarnya sosok yang dimaksud, karena masyarakat telah menobatkannya bagai anregurutta, yakni Anregurutta K.H. Sanusi Batjo LC, serona persona ulama kita.
Sumber : metroislam.com
Source Article and Picture : www.wartaislami.com
Komentar
Posting Komentar